Deskripsi gambar

Pemangkasan Dana Transfer Pusat ke Daerah Dinilai Tepat: Banyak Uang Parkir di Kas Daerah

Efisiensi Fiskal Jadi Prioritas, Pemerintah Pusat Dorong Daerah Lebih Produktif Kelola APBD

SudutMakassar.id, MAKASSAR – Pemotongan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah menuai reaksi keras dari sejumlah kepala daerah. Namun di sisi lain, langkah ini justru dinilai tepat dan rasional, mengingat masih banyak dana pemerintah daerah yang mengendap di rekening kas daerah (Kasda) tanpa dimanfaatkan secara optimal.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang kemudian diubah melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, semangat desentralisasi fiskal sejatinya diharapkan mampu mendorong kemandirian daerah.

Namun realitanya, sebagian besar keuangan pemerintah daerah masih sangat bergantung pada transfer dana pusat, baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun hibah dari APBN.

Selama lebih dari dua dekade pelaksanaan otonomi daerah, triliunan rupiah dana transfer telah digelontorkan ke daerah. Sayangnya, banyak di antaranya yang tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi lokal.

 “Logikanya, jika ekonomi rakyat tumbuh dan daya beli meningkat, maka Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga ikut naik. Tapi faktanya, di banyak daerah PAD justru stagnan, bahkan menurun,” ungkap seorang pengamat kebijakan fiskal daerah.

Fenomena ini terjadi karena alokasi APBD di sejumlah daerah lebih banyak terserap untuk kegiatan seremonial, perjalanan dinas, dan operasional birokrasi, dibandingkan untuk sektor produktif yang dapat menggerakkan ekonomi rakyat.

Dampaknya, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tiap tahun terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, pada akhir tahun anggaran 2024 tercatat sekitar Rp233 triliun dana idle money atau dana “nganggur” di Kasda yang tidak dibelanjakan.

Untuk tahun 2025, dana transfer ke daerah mencapai Rp848 triliun, namun karena rendahnya serapan dan efektivitas belanja, pemerintah pusat memutuskan menurunkannya menjadi Rp693 triliun pada tahun 2026, atau berkurang sekitar Rp155 triliun.

Langkah ini diambil sebagai bentuk penegasan agar daerah tidak menjadikan dana transfer sekadar “parkiran uang” untuk memperoleh bunga bank, melainkan benar-benar digunakan bagi kepentingan masyarakat.

Contoh positif datang dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang berhasil mengoordinasikan kabupaten dan kota di wilayahnya untuk bersinergi dalam pembangunan infrastruktur strategis seperti jalan, irigasi, sekolah, dan pasar rakyat.
Model kolaboratif ini terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta meningkatkan daya saing lokal.

Karenanya, kepala daerah di seluruh Indonesia diharapkan mencontoh langkah Pemprov Jawa Barat sebagai best practice dalam tata kelola fiskal yang efisien dan berorientasi hasil.

Dengan demikian, pemangkasan dana transfer pusat ke daerah tidak perlu dipandang sebagai bentuk hukuman, melainkan dorongan agar daerah lebih kreatif, mandiri, dan produktif dalam mengelola keuangannya.

Deskripsi gambar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Deskripsi gambar