Oleh: dr. Rizka Wahyuni, M.H., C.M.C
SudutMakassar.id, MAKASSAR – Pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun fasilitas kesehatan (faskes) sering dihadapkan pada dilema antara kepatuhan prosedur dan kebutuhan mendesak pasien. Belakangan, publik menyoroti lambatnya proses penanganan pasien karena harus menunggu Sistem Rujukan Terintegrasi (Sisrute).
Sistem ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengatur alur rujukan secara standar dan terintegrasi. Namun, di lapangan pasien justru kerap menjadi pihak yang paling dirugikan: waktu tunggu semakin panjang, pelayanan medis tidak gesit, bahkan keselamatan nyawa dipertaruhkan.
Seorang dokter spesialis kandungan pernah bercerita,
“Pasien hamil dengan eklamsia sudah kejang, tekanan darahnya terus naik. Kami siap operasi sesar darurat. Namun pascaoperasi, pasien butuh ICU dan bayi perlu NICU. Fasilitas ini tidak ada di RSUD kami. Rujukan lewat Sisrute tidak kunjung direspons, sementara kondisi pasien terus kritis.”
Kisah nyata ini menggambarkan dilema besar tenaga medis. Dokter ingin segera menyelamatkan pasien, tetapi prosedur Sisrute justru menghambat. Status yang tertulis di layar komputer hanyalah: “Menunggu persetujuan rujukan.”
Fenomena pasien tertahan karena rumah sakit rujukan belum memberikan persetujuan bukanlah hal baru. Prosedur administrasi sering menjadi tembok penghalang antara pasien dengan haknya mendapatkan pelayanan cepat dan tepat. Pertanyaan besar pun muncul: apakah Sisrute benar-benar efisien, atau justru melahirkan birokrasi baru yang kontra-produktif?
Landasan Hukum dan Realita Lapangan
UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Pasal 98 ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai kebutuhan medisnya. Sementara itu, Permenkes No. 1 Tahun 2012 dan Permenkes No. 19 Tahun 2014 menekankan pentingnya rujukan berjenjang dan terdokumentasi melalui sistem informasi kesehatan.
Namun kenyataannya, lambatnya respons rumah sakit rujukan, kurangnya integrasi digital, hingga beban administratif tambahan membuat pasien dan tenaga medis sering terjebak dalam birokrasi. Kondisi pasien bisa memburuk hanya karena menunggu sistem bekerja.

Hak Konstitusional Pasien
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan setiap orang berhak hidup sejahtera dan mendapatkan pelayanan kesehatan. Jika Sisrute justru memperlambat layanan darurat, maka hak konstitusional pasien bisa terlanggar.
Rekomendasi Perbaikan
Untuk itu, evaluasi menyeluruh implementasi Sisrute sangat penting. Beberapa langkah yang bisa ditempuh:
1. Emergency Bypass – dalam kondisi gawat darurat, pasien tidak boleh menunggu persetujuan Sisrute. Rumah sakit tujuan wajib menerima pasien, administrasi menyusul.
2. Integrasi Digital Real-Time – pemerintah harus memperkuat infrastruktur agar proses rujukan berlangsung seketika, bukan berjam-jam atau berhari-hari.
3. Sanksi Tegas – bagi faskes atau rumah sakit yang lalai merespons rujukan tanpa alasan jelas, harus ada sanksi administratif sesuai regulasi.
4. Evaluasi Berkala dan Feedback Pasien – Kemenkes perlu membuka kanal pengaduan publik dan audit rutin kinerja Sisrute.
Sistem rujukan kesehatan bukan sekadar soal data dan prosedur di atas kertas, tetapi soal nyawa manusia. Sisrute memang penting sebagai instrumen manajemen, namun jangan sampai menjadi penghalang karena lambatnya birokrasi.
Kesehatan adalah hak dasar setiap warga negara. Maka, sistem apapun yang diterapkan harus menempatkan keselamatan pasien di atas segalanya.
















