Deskripsi gambar
Opini  

Antara Regulasi dan Realita: Perlindungan Tenaga Medis Masih Buram

Kasus dr. Syapri di RSUD Sekayu Jadi Alarm Keras Lemahnya Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Dokter di Indonesia

Oleh: dr. Rizka Wahyuni, MH., C.M.C

SudutMakassar.id, MAKASSAR – Publik digemparkan oleh insiden memilukan yang menimpa dr. Syapri, Sp.PD-KGH, FINASIM, dokter spesialis penyakit dalam subspesialis ginjal dan hipertensi di RSUD Sekayu, Sumatera Selatan. Ia mendapat perlakuan tidak pantas dari keluarga pasien yang tidak menerima kondisi medis. Peristiwa ini bukan sekadar konflik emosional, tetapi juga berdimensi hukum serius, sebab tenaga medis adalah profesi yang dilindungi undang-undang.

Tindakan intimidasi, tekanan, hingga dugaan kekerasan verbal dan non-verbal yang dialami dr. Syapri menimbulkan kekhawatiran besar. Bagaimana mungkin seorang dokter yang bekerja sesuai standar profesi justru dihadapkan pada ancaman keselamatan dirinya? Kasus ini kembali menegaskan lemahnya perlindungan tenaga medis di lapangan, meski regulasi sudah tegas mengaturnya.

Perlindungan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 273 menegaskan tenaga medis berhak memperoleh perlindungan hukum saat menjalankan tugas sesuai standar profesi. Perlindungan ini mencakup jaminan rasa aman, bebas dari ancaman, dan terbebas dari kekerasan fisik maupun psikologis.

Selain itu, PP No. 28 Tahun 2024 Pasal 851 menyebut rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap SDM yang bekerja di dalamnya. Artinya, rumah sakit wajib menjadi benteng keamanan bagi tenaga medis, bukan sekadar institusi pelayanan kesehatan.

Pelanggaran Hukum dalam Penyebaran Rekam Medis
Kasus dr. Syapri makin rumit setelah cuplikan video insiden beredar luas di media sosial. Padahal, Permenkes No. 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran, diperkuat dengan Permenkes No. 24 Tahun 2022 dan PP No. 28 Tahun 2024, secara tegas melarang perekaman dan penyebaran informasi medis tanpa izin. Pelanggaran ini dapat berimplikasi pidana maupun perdata.

Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) bahkan sudah mengeluarkan imbauan larangan perekaman tindakan medis tanpa izin, dengan konsekuensi sanksi hukum bagi pelanggarnya.

Fenomena Berulang
Insiden yang menimpa dr. Syapri bukanlah kasus pertama. Sudah banyak tenaga medis menjadi korban kriminalisasi, kekerasan, maupun tuntutan hukum tidak proporsional akibat ketidakpuasan keluarga pasien.

Masalahnya, aturan yang ada tidak menjamin perlindungan jika implementasi di lapangan lemah. Aparat hukum sering menempatkan dokter dalam posisi tersudut, sementara masyarakat terbawa emosi tanpa memahami risiko medis yang tidak selalu menghasilkan kesembuhan.

Rekomendasi Penguatan Sistem
Rumah sakit diminta memperkuat sistem keamanan internal dengan membatasi akses ruang perawatan, menyediakan jalur hukum cepat bagi tenaga medis, serta menjalin kerja sama dengan aparat kepolisian.

Organisasi profesi seperti IDI dan PERSI juga perlu lebih proaktif melakukan advokasi hukum, menjadi garda terdepan dalam membela tenaga medis dari kriminalisasi.

Selain itu, edukasi publik soal hak dan kewajiban pasien sangat mendesak. Dokter bekerja berdasarkan prinsip Inspanningsverbintenis atau “best effort”, bukan jaminan hasil mutlak.

Alarm Keras Perlindungan Medis
Kasus dr. Syapri harus dipandang sebagai alarm keras bagi pemerintah dan seluruh stakeholder. Perlindungan tenaga medis bukan lagi wacana, tetapi kebutuhan mendesak. Tanpa perlindungan nyata, pelayanan kesehatan bisa berada dalam ancaman serius.

Deskripsi gambar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Deskripsi gambar